Selasa, 07 Juni 2016

Lengkong

Oleh: AMANDA PUTRI NUGRAHANTI

Kesenjangan sosial nyata terlihat dengan semakin terdesaknya warga kampung oleh permukiman-permukiman mewah bertembok tinggi dan eksklusif. Namun, dengan akses pendidikan yang memadai, pendampingan, dan edukasi, warga di Kampung Lengkong, Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, kini berjuang untuk menjadi setara.

Muhammad Lailatul Qodar (23), seorang pemuda setempat yang baru saja lulus dari Politeknik Geologi dan Pertambangan Bandung, Kamis (2/6/2016), bercerita, sejak pembangunan permukiman marak di sekitar kawasan itu, warga tidak lagi punya banyak pilihan.

Warga yang sebelumnya bertani kini menjadi anggota satuan pengamanan (satpam), petugas kebersihan, pelayan restoran, dan paling bagus, petugas pelayanan pelanggan (customer service) di kawasan bisnis dan permukiman yang mendadak muncul mengepung mereka.

”Memang perkembangannya sangat pesat, tetapi kami tak merasakan perubahan yang lebih baik. Yang paling terasa macetnya. Warga asli sini hanya bisa menjadi penonton,” kata pemuda yang akrab disapa Mamad ini seusai pencanangan Kampung Lengkong sebagai Kampung Pancasila oleh mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.

Pentingnya pendidikan

Mamad mulai terbuka matanya ketika ia mulai bersekolah di SMP Plus Lengkong Mandiri yang didirikan Yayasan Bangun Bina Anak Indonesia (YBBAI). Di sekolah itu ia disadarkan akan pentingnya pendidikan tinggi jika ingin sukses.

Biasanya di kampung itu, begitu anak-anak lulus SMP atau SMA, orangtua menyuruh mereka segera bekerja untuk membantu orangtua, atau menikah. ”Mereka memang bisa bekerja, tetapi kalau hanya SMA, apalagi SMP, mau jadi apa ke depannya?” ujar Mamad.

Karena itu, Mamad saat itu bertekad untuk bisa kuliah, tetapi terbentur persoalan biaya. Beruntung, YBBAI membantunya sehingga ia pun bisa kuliah. Setelah lulus, banyak perusahaan tambang memintanya bekerja, tetapi ia memilih pulang kampung. Ia pun membantu mengajar siswa di SMP dan SMK Plus Lengkong Mandiri.

”Saya ingin menyadarkan warga sini mengenai pentingnya pendidikan. Anak-anak harus kuliah. Warga Lengkong tak boleh jadi penonton, tetapi harus jadi tuan di rumah mereka sendiri,” ungkapnya.

Salah satu siswa kelas XI SMK Plus Lengkong Mandiri, Nur Fadilah Iman (17), bahkan bercita-cita mengembangkan pertanian organik.

”Kasihan petani kita. Mereka yang menghasilkan pangan untuk Indonesia, tetapi hidupnya miskin. Saya ingin petani bisa kaya dengan pertanian organik,” ujarnya.

Menurut dia, dengan pertanian organik, biaya produksi bisa murah, tetapi harga jual produknya mahal. Selain itu, produk pertanian organik juga tak berbahaya bagi kesehatan.

Di sekolahnya, Fadilah sudah belajar menyemai benih padi, menanam padi, hingga memberi pupuk organik. Ia mengaku tak sabar menunggu panen.

Sekolah Plus Lengkong Mandiri didirikan YBBAI 15 tahun lalu di desa itu. Hingga kini, setidaknya 1.000 siswa telah mengenyam pendidikan di sekolah itu. Ketua YBBAI Rizal Sikumbang mengatakan, sekolah ini awalnya didirikan untuk mengangkat derajat masyarakat setempat. Sebab, di daerah itu, seperti halnya perkampungan yang berada di tengah kota lain, terdapat jurang pemisah lebar antara yang kaya dan miskin.

”Sangat terasa saat ini negara dikuasai korporasi, maka kami berpihak kepada masyarakat lokal yang termarjinalkan di kampung mereka sendiri,” katanya.

Desa bersejarah

Desa Lengkong dipilih karena desa itu bersejarah, tempat terjadinya peristiwa pertempuran Lengkong pada 25 Januari 1946. Sebanyak 34 pejuang gugur, termasuk Mayor Daan Mogot. Di Kampung Lengkong juga masyarakat asli Betawi tinggal. Mereka memiliki budaya lokal, yang jika kampung itu hilang, budayanya juga ikut lenyap.

”Kami menginginkan anak-anak asli di sini memperoleh pendidikan yang setara dengan anak-anak di perumahan mewah yang bersekolah di sekolah mahal,” kata Rizal.

Ketua Dewan Pembina YBBAI Subroto mengatakan, kesenjangan yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia berjalan tanpa roh.

”Rohnya Pancasila, tidak dilakukan. Tujuan kami adalah bagaimana mencapai negara yang sejahtera berlandaskan Pancasila,” kata Subroto.

Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan Muhammad mengakui, pengembang di kota itu sangat ekspansif. Alhasil, warga asli yang tak mengenyam pendidikan tinggi kerap termakan iming-iming untuk menjual tanah mereka kepada pengembang. Kini, katanya, hampir 70 persen dari luas lahan 147 kilometer persegi di Tangerang Selatan dikuasai pengembang.

”Padahal, menjual tanah itu memiskinkan. Namun, yang terjadi, masyarakat yang tidak tahu diiming-imingi dan bahkan diintimidasi untuk menjual tanah mereka,” kata Muhammad.

Itu sebabnya, Kampung Pancasila kini dicanangkan untuk semakin mempertegas visi yang ingin diraih warga Lengkong. Kampung Pancasila akan menjadi contoh bagaimana nilai-nilai dalam Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, hingga keadilan sosial dapat diimplementasikan dalam kehidupan.

Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Juni 2016, di halaman 1 dengan judul "Menggapai Kesetaraan di Kampung Lengkong".

Editor : Egidius Patnistik

Raden Aryo Sumantri
Kemarin pukul 13:44 ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar